Selasa, 14 September 2010

MUSICAL OVERTURE

Di waktu-waktu sorehari, aku suka sekali memandangi capung-capung selepas hujan. Getaran-getaran sayap mereka yang hampir tak terlihat seakan-akan mengajarkanku tentang kegembiraan. Mereka membentuk gerakan-gerakan yang mirip gelombang-gelombang kecil, gelombang-gelombang yang meliuk di atas semak belukar, rumput-rumput, dan ilalang, di saat buih-buih masih berjatuhan dan beterbangan. Seakan-akan mereka asik bercanda dengan hembus angin dan lembab cuaca. Sementara itu, di barisan pohon-pohon, masih terdengar kicau burung-burung yang menurutku merasa kedinginan, dingin yang meresap pada bulu-bulu mereka. Dan aku sendiri, ketika itu, duduk di bawah rimbun pepohonan bambu pinggir sungai kecil yang airnya mengaliri sawah-sawah. Anggaplah ketika itu aku memang sudah jatuh cinta pada kebisuan dan kesenduan alam, yang pada akhirnya menggambar dan melukis kesenduan hidup itu sendiri. Kebisuan dan kesenduan yang memberiku kedamaian yang aneh, kedamaian yang merupakan keheningan musim yang basah dengan gerak-gerak yang samar dalam pandangan kedua mataku sebagai seorang bocah yang hendak beranjak menjadi lelaki remaja. Tentulah di saat-saat seperti itu matahari sudah merasa terlambat untuk menampakkan diri, di saat malam datang lebih awal. Kesunyian-kesunyian seperti itu pada akhirnya sangat berpengaruh pada keadaan bathinku, keadaan bathin yang mudah tersulut oleh kondisi-kondisi yang mendorongku untuk mencipta dunia-dunia khayalan. Di saat-saat seperti itu, sudut-sudut langit dan pematang-pematang sawah lebih mirip figur-figur bisu. Dan aku sendiri, bila dilihat dari sudut pandang orang lain lagi, merupakan salah-satu figurnya. Aku telah bersatu, atau paling tidak, telah menjadi bagian dari mereka, turut mengambil bagian dalam keheningan itu sendiri. Konon, kecendrungan-kecendrungan seperti itu sebenarnya merupakan salah-satu bentuk keterasingan dan pelarian karena kecewa dan rasa tak puas, atau karena amarah yang terpendam, amarah yang menyamarkan dirinya untuk menggandrungi keindahan, kegilaan yang lembut. Dan kalau pun ya, aku takkan menganggapnya sebagai persoalan atau pun masalah yang perlu disikapi dengan serius, sebab jika benar, aku akan mengakuinya, aku akan menerimanya sebagai sesuatu yang mungkin saja malah akan memberikan kebaikan-kebaikan tak terduga padaku.

Dalam cuaca seperti itu sebenarnya aku tak hanya memandangi capung-capung yang kuumpamakan sebagai para peri mungil itu, sesekali kulihat juga kupu-kupu atau belalang-belalang yang meloncat-loncat dan yang terbang, sedangkan di malam harinya bila aku keluar dari rumah untuk memandangi bintang-bintang di langit, aku pun akan bertemu dengan kunang-kunang. Aku sangat mengagumi tubuh-tubuh mereka yang seperti lampu-lampu kecil yang bergerak dan beterbangan. Tetapi sekarang, di saat aku telah menjadi seorang lelaki dewasa, aku hampir tak pernah melihat kunang-kunang masa kanak dan masa remajaku itu. Kadang-kadang ada kerinduan dalam hati yang terasa sangat kuat sekali untuk bisa kembali melihat mereka, binatang-binatang ciptaan Tuhan yang menurutku termasuk dalam golongan binatang-binatang kecil paling indah, makhluk-makhluk yang sampai saat ini kugolongkan sebagai makhluk-makhluk keluarga para peri mungil bersama dengan kupu-kupu dan para capung.

Dan malam ini, bertahun-tahun setelah peristiwa itu, aku hanya bisa membayangkan tiga burung terbang dalam keheningan malam bersama alunan-alunan biola, membayangkan kembali capung-capung yang kini cuma kilasan-kilasan ingatan pengisi waktu-waktu senggangku. Kubayangkan diri ini memasuki sebuah dunia khayalan, di mana aku dapat menemukan keindahan-keindahan yang hanya ada dalam angan-anganku, meski dunia yang kumasuki itu terasa sunyi dan dingin, tak ada siapa-siapa kecuali diriku sendiri. Kubayangkan alunan-alunan senar seumpama maut yang sebenarnya selalu hadir dalam hidupku. Maut yang juga tidur ketika aku tidur, meminum air yang juga kuminum, dan memakan apa saja yang kumakan. Maut yang juga selalu menemaniku ke mana pun aku pergi dan berada. Maut yang juga menari mengikuti musik yang kudengarkan di tengah malam sembari menghirup kopiku dan menghisap batangan-batangan rokokku. Dengan itu semua aku pun semakin sadar betapa tipis sekali batas antara hidup dan kematian. Seakan-akan aku menari dengan kematian itu sendiri, memegang tangannya dan bergerak bersama-sama. Dalam dunia angan-angan yang indah tapi sepi itu, aku selalu bertemu dengan penjelmaan-penjelmaan diriku sendiri di setiap sudut dan tempatnya, penjelmaan-penjelmaan maut yang menyamar sebagai diriku. Maut yang bersemayam di mata dan di tubuhku. Meski demikian, dan bagaimana pun, aku sama sekali tak bermaksud membuat diriku merasa takut atau ngeri. Bukan! Bukan itu yang kumaksudkan. Aku hanya tengah membayangkan ketika aku menjadi begitu akrab dengan kematian yang tidak menakutkan, tetapi kematian yang terasa lembut dan menggairahkan. Kematian yang indah dan membius seperti kelembutan tangan-tangan gaib yang menyentuh sesuatu yang tersembunyi di dasar relung dadaku ini, yang menjelma musik di hatiku.

Kematian yang begitu akrab, mesra, dan menggairahkan itu bisa juga kuumpamakan seperti tangan-tangan yang setiap saat menggambar sepasang mataku ketika aku tidur, meresap pada rambutku, pada tubuhku, menciumi alis mataku yang berbaris rapi. Atau seperti sepasang tangan yang saling menggambar satu sama lain secara bersamaan. Atau seperti figur kanak-kanak yang bermain dengan bayangannya sendiri. Atau memang seperti bayang-bayang yang selalu bersamaku, di mana bayang-bayang itu merupakan cerminan dari takdir kita sendiri. Maut yang kubayangkan itu adalah maut yang juga membaca apa yang kubaca dan menulis apa yang kutulis. Maut yang telah bersatu dengan tubuhku sendiri. Begitulah, di malam-malam tertentu, bila aku merasakan kenyamanan dalam kesendirian dan keheningan, bila aku mendengarkan musik yang seakan-akan mengajakku menyelami dunia-dunia kebisuan yang gelap dan dingin, sebuah dunia yang di dalamnya tak ada apa-apa selain sunyi itu sendiri, dunia yang tak lain adalah kematian, kadang-kadang aku tergoda bila saja aku bisa tinggal di dalamnya meski untuk beberapa saat saja.

Demikian pula, di waktu-waktu tertentu, aku suka sekali berjalan-jalan sendirian ketika jalanan malam sebuah kota kecil di mana aku tinggal di salah-sudutnya mulai sepi. Aku memiliki ketertarikan yang aneh pada kelengangannya, pada dinding-dinding yang bisu dan diam di antara nyala-nyala lampu. Kubayangkan mereka juga tengah tertidur seperti orang-orang kantoran karena lelah selepas kerja seharian. Tetapi aku, aku yang bebas ini, bisa keluar dan berjalan-jalan kapan saja, tanpa ikatan dan aturan, aku bukan manusia sosial seperti orang-orang kebanyakan, aku selalu merasa sendirian bila aku tengah berjalan-jalan dan melangkahkan sepasang kakiku menyusuri trotoar atau pinggir-pinggir jalan. Kadang aku berhenti di sebuah warung yang menyediakan kopi hitam dan rokok. Jika sudah begitu, aku akan memesan kopi panas, duduk, dan lalu menyalakan rokokku. Seperti itulah aku membayangkan maut tak lain adalah diriku sendiri. Ikut melihat kelengangan yang kulihat, mendatangi sudut-sudut diam dan kebisuan yang kudatangi. Tetapi pada saat yang sama, aku melihat maut tengah berjalan-jalan sendirian di gang-gang antara rumah dan pertokoan sementara aku mengambil jalan dan tikungan yang berbeda. Di sana aku pun bertengkar dengannya, dengan diriku sendiri, berselisih paham ke mana aku akan pergi dan berkunjung di waktu-waktu malam. Pertengkaran yang akhirnya membuat kami berpisah untuk sementara sebelum akhirnya kembali padaku sesuai dengan keinginannya. Ia yang pada akhirnya bisa juga merasakan keraguan seperti halnya aku, jatuh cinta pada seorang perempuan yang juga kusukai. Berbincang dengan perempuan yang sama. Ikut mengunci pintu kamar di saat aku keluar dan ingin berjalan-jalan.

Sekarang aku ingin kembali kepada ingatanku pada capung-capung sorehariku, capung-capung yang kini kubayangkan sebagai gambaran kematian, yang baru kusadari saat ini, di mana getaran-getaran sayap-sayap mereka yang tipis itu adalah kiasan dari kematian yang menyamar sebagai keindahan dan kelembutan. Mereka adalah maut yang bermain-main itu sendiri. Aku akan menyebut capung-capung itu sebagai peri-peri kecil yang tengah mencandai kematian, sosok kematian yang memang tidak terlihat oleh mata telanjang dan hanya bisa dipahami oleh keintiman bathin kita. Seperti itulah, entah ini sebentuk kegilaan yang lembut ataukah bukan, aku seringkali berkhayal bahwa kematianku akan datang dari masa silam yang telah kuceritakan itu. Kematian yang pernah datang bersama kupu-kupu, para capung, dan kunang-kunang masa kanak dan masa remajaku itu. Bahwa jika kelak kematian akan datang menjemputku, aku akan bergabung bersama mereka dalam dunia yang dipenuhi dengan kedamaian dan keindahan. Aku membayangkan bahwa aku akan menjadi salah-satu dari mereka. Bahwa aku akan menjadi kecil dan memiliki sayap di kedua sisi punggung dan pundakku, yang dengan itu aku akan bebas bepergian bersama angin atau bermain-main dengan pergantian-pergantian musim. Aku akan menembus kegelapan-kegelapan malam dan bisa mendengar gumam-gumam kesedihan manusia yang hanya bisa berdoa dalam hati mereka. Atau aku akan mengagumi bocah-bocah yang merupakan perlambang keluguan dan ketulusan hidup. Aku membayangkan kematianku akan mewujudkan khayalan-khayalan kekanak-kanakkanku yang terpendam dan yang tertunda sebagai seorang lelaki dewasa. Betapa indah dan menyenangkannya gagasan dan angan-angan seperti itu. Kadang-kadang tanpa terasa aku menitikkan airmata dalam kesendirian bila sudah membayangkan dan mengkhayalkan itu semua. Kerinduan dan mimpi-mimpi purba seorang lelaki yang terobsesi dengan fantasi-fantasi keindahan demi menghibur dan membahagiakan hatinya yang rapuh dan terpecah.

Malam ini, musik yang kudengarkan tanpa kusadari telah membawa dan menyandera pikiran dan angan-anganku bebas berkelana ke dunia-dunia khayalan yang kuinginkan dan yang kubayangkan. Musik yang membuatku berangan-angan tentang kematian yang kuharapkan dan yang kuinginkan, membawaku ke ingatan-ingatan sendu masa kanak dan masa remajaku di sejumlah senja dan hujan di antara pepohonan dan bentangan-bentangan kebisuan, di antara sudut-sudut langit yang seumpama figur-figur samar sebuah lukisan, figur-figur ingatan itu sendiri, figur-figur yang menyusun sketsa-sketsaku tentang seperti apa kematian yang kugambar.

(Sulaiman Djaya)